Tuesday, July 10, 2007

SEPUTAR BALI

NYAMA BRAYA
Tukar Titah Bali - Tionghoa

Antarwarga Tionghoa dan Bali kerap bertukar fungsi. Warga keturunan Tionghoa dititahkan menjadi pamangku, sebaliknya tak sedikit nyama Bali sebagai rohaniwan di kongco, klenteng, atau wihara. Bagaimana tukar peran ini terjadi?

Bila Anda melintas di Jalan Gatot Subroto, Denpasar, dari arah Ubung menuju jurusan Tohpati, di sisi timur Jalan Gatot Subroto IV, ada terpampang papan nama sebuah tempat peribadatan. Kongco Pura Ganda Sari, namanya. Membaca papan nama kongco itu, sepintas pikiran Anda besar kemungkinan membayangkan orang-orang yang berdiam dan mengurus tempat peribadatan itu adalah warga keturunan Tionghoa. Jika begitu, jelas kelebatan imajinasi Anda keliru. Pengurus sekaligus pendiri kongco ini justru adalah orang Bali tulen. Namanya: I Ketut Merta, bekas wiraswasta di bilangan Denpasar. Dialah bertanggungjawab terhadap pembangunan serta berbagai ritual di kongco ini. “Saya tak pernah berpikir suatu saat akan mengurus sekaligus menjadi pamangku di kongco,” bebernya, kalem. Kisah kegigihan Mangku Merta mendirikan Kongco Pura Taman Gandasari tidak lepas dari getir perjalanan hidup yang dialami. Tahun 1990-an, keluarganya kerap bertengkar. Anak sama anak tak pernah akur, dia sebagai ayah dengan sang istri kerap berantem oleh hal-hal sepele. Pekerjaan menjadi amburadul, bahkan teramat sulit memperoleh uang. Bila anak-anaknya bertemu, selalu saja muncul masalah yang berujung pada pertengkaran. Kebingungan mendera, kegelisahan selalu memburu nurani Merta, “Mengapa derita memilukan selalu menimpa keluarga saya. Padahal, dulu akur-akur saja.” Tak kuat menanggung beban, suatu malam Merta duduk tepekur di depan palinggih-nya di merajan. Dia bersujud, memohon diberikan jalan nan terang buat mengatasi deraan berat hidup yang dialami selama ini. “Ternyata ada sejenis suara yang saya dengar menghimbau, supaya tangkil ke tempat-tempat suci besar di seluruh Bali,” kenangnya. Setelah melakukan perjalanan ke banyak tempat suci di Bali, di Pura Lempuyang Luhur dia mendapat pawisik harus menjadi pamangku di sebuah pura tempat tinggalnya, kawasan Jalan Nangka, Denpasar. Bernama Pura Ratu Gede Pancung, sebagai pengayatan Ida Batara Sri, dewi penguasa huma. Lokasi tempat suci dimaksud masih berada di kawasan Jalan Gatot Subroto IV, blok IX Ujung, bersebelahan dengan lokasi Kongco Pura Taman Gandasari kini. Di tempat suci ini dia mengabdikan diri bersama pamangku yang sudah terlebih dulu bertugas di tempat ini. Saat suntuk menjalankan kewajiban sebagai pamangku, entah bagaimana awalnya, Ida Batara Cina bernama Kwan Kong Bio tedun pada diri Merta. Apa yang dirasakan Mangku Merta kemudian disampaikan ke pamangku di Pura Ratu Gede Pancung. Dia pun nyungsung (memuja) Batara Kwan Co di areal tempat suci Ratu Gede Pancung di Pura Gede Pancung. Cuma, lamat-lamat pamangku yang lama menginginkan supaya areal Batara Kwan Kong dipisah dengan Ida Batara Ratu Gede Pancung. Merta menolak, tapi pamangku sebelumnya terus mendesak. Akhirnya, pemisahan dilakukan, dengan memindahkan Ida Batara Kwan Kong ke lahan Mangku Merta, di sebelah pura. Di tempat baru itulah dibangun kongco bernama Kongco Pura Taman Gandasari. Bagi Mangku Merta, antara ajaran Hindu dan Budha ataupun Konghucu sejatinya tak jauh beda, makanya dia tak terlalu sulit menjalani perannya sebagai rohaniwan di kongco. Ketut Merta ini hanyalah sebagian orang Bali yang menjalani fungsi sebagai rohaniwan di tempat suci kongco. Di dekat Pura Candi Narmada, Tanah Kilat, Jl By Pass Ngurah Rai, Denpasar, tepatnya di Kongco Dwipayana, pendiri sekaligus rohaniwan kongco juga orang Bali. Namanya: Ida Bagus Adnyana. Kini lebih akrab disapa Atu Mangku. Tiada beda dengan Mangku Merta, lakon hidup yang kini dijalankan Atu Mangku juga bermula dari titah (petunjuk) gaib (pawisik), tahun 1987. Pada suatu malam, dia bersama istrinya mendapat pawisik (petunjuk gaib) yang menyebutkan bahwa dekat Pura Tanah Kilap ada tempat suci telantar. Adnyana dititahkan merawat kembali tempat tersebut. “Saat itu saya betul-betul kebingunan. Kok bisa saya mendapat pawisik seperti itu,” kenangnya.Anehnya lagi, kala itu Atu Mangku merasa kesulitan menolak apa yang dirasakan. Mau diabaikan, batinnya seakan-akan ada yang menarik dan menuntun datang ke tempat yang ditunjukkan. Hingga akhirnya dia langsung ke Tanah Kilap, mencari lokasi sesuai petunjuk dari alam gaib itu. Bersama beberapa orang dia mendapati di tengah belantara hutan bakau ada sebuah bangunan berukuran 4 x 4 m, di sampingnya ada kolam dan sumber air yang tak terawat. Setelah menemukan lokasi dimaksud, hatinya semakin terpaut dan pikirannya selalu tercurah ke tempat suci ini. Makanya dia memutuskan untuk membersihkan tempat tersebut, tentu diawali dengan matur piuning (upacara permakluman), mohon izin pada penguasa di kawasan tempat suci itu. Pasca penemuan tempat suci itu, Adnyana kerap kali mendapat pawisik dari penguasa di kawasan suci ini (Dewa Bumi), yang intinya menitahkan dirinya supaya ngemit areal suci ini. Belakangan, Adnyana menjadi lebih suka ke tempat ini. Malah pada akhirnya dia memutuskan mengabdikan diri sepenuh hati di Griya Kongco Dwipayana. Selain mendirikan tempat suci untuk umat Budha, di kongco ini juga dibangun tempat persembahyangan bagi warga Hindu, Konghucu, dan Taoisme. Jika banyak orang Bali beralih fungsi menjadi pengurus dan rohaniwan di kongco atau wihara, sebaliknya tak sedikit warga keturunan Tionghoa mengambil peran yang banyak dipegang orang Bali. Di wilayah Payangan, tepatnya di Desa Pakraman Sema, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, warga keturunan Tionghoa bernama Diansing, kini menduduki posisi nomor satu di desa pakraman. Masyarakat setempat mempercayainya sebagai bandesa pakraman. Masih di wilayah Payangan, warga keturunan Tionghoa, Made Suwijana alias Cik Suwi, sekarang menjadi pamangku di desanya, Banjar Geria, Desa Melinggih. Kemudian, A Yen, menjadi pamangku di Pura Taman Mesir, Desa Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, khusus pada palinggih Dewa Tahu Cin Jin (Dewa Ksatria) yang ada di areal tempat suci ini. “Mulanya saya sendiri tak mau mengemban tugas sebagai rohaniwan, tapi tak bisa menghindar,” kata Cik Suwi. Berbagai alasan membuncah-buncah di benaknya. Selain tak siap, dia juga merasa bukan keturunan Bali asli. Darah Tionghoa masih tampak sangat kental pada parasnya. “Saya khawatir, bila sampai memegang posisi sebagai pamangku, akan muncul pandangan lain dari warga,” paparnya.Tapi, titah tetap titah yang tak terbantah. Tiap kali ditolak, tuntutan itu semakin kuat mencengkeram. Akibat pembangkangan itu berbuah kurang baik. Dia sempat jatuh dan tangannya patah. “Sampai sekarang masih membekas,” katanya sambil menunjukkan bekas lukanya. Firasat seperti itu pun diartikan bahwa Ida Batara tak berkenan akan berbagai penolakan yang dilakukan selama ini. Akhirnya, bersama beberapa calon pamangku lain dia pun melakukan pawintenan (upacara pensucian diri). Ketika sudah ngiring baos Ida sasuhunan, batin Cik Jro, begitu Cik Suwi kerap dipanggil, justru merasa tenang. Selama menunaikan titah menjadi pamangku, ternyata ada banyak persamaan yang ditemukan pada ajaran Hindu yang berkembang di Bali dengan ajaran yang dianut warga Tionghoa. Di Bali ada ajaran tentang Ketuhanan, penghormatan terhadap leluhur, serta ajaran tentang budi. Begitu halnya dalam keyakinan warga Tionghoa: ada Tao yang menekankan pada ajaran Ketuhanan, kemudian Konghucu yang menuntun penghoramatan kepada leluhur, dan Budha lebih terfokus pada ajaran budi, pembangkitan kesadaran Diri, dengan mencari Kesadaran ke dalam Diri sendiri.Kini, selain ngayah menjadi pamangku di Pura Kelenteng Ulun Danu Batur, Cik Jro juga kerap ngaturang ayah di pura yang ada di desanya, serta di pura kahyangan jagat yang ada di Bali. “Syukurlah, sampai sekarang saya tetap diterima menjadi bagian dari para pamangku yang ada di Bali, sekalipun bukan keturunan Bali tulen,” Cik Jro bertutur, girang. Di Bali, sesama tradisi keyakinan Timur begitu terpaut, penuh rasa persaudaraan, memang. Ini karena sesama keyakinan Timur berpuat pandangan serupa: kesadaran budi nan luhur, menjaga keharmonisan sang Diri dengan Alam dan sang Maha Pencipta Semesta Raya. [I Wayan Sucipta]
Dikutip dari Majalah SaradBali Edisi No. 83/ Tahun VIII Maret 2007